Mengungkap Fakta Kebenaran
Indeks
banner 728x250

TUMPANG PITU: Emas di Perut Gunung, Luka di Tanah Banyuwangi

BanyuwangiJejakindonesia.news // Di balik gemerlap janji kesejahteraan, tambang emas Tumpang Pitu berdiri sebagai ironi yang terus diperdebatkan di Banyuwangi. Gunung yang dahulu menjadi benteng alam dan ruang hidup masyarakat pesisir kini terbelah oleh alat berat, menyisakan debu, kebisingan, dan kegelisahan yang tak kunjung reda.

Eksploitasi emas di kawasan Tumpang Pitu bukan sekadar soal investasi dan angka pertumbuhan ekonomi. Ia telah menjelma menjadi konflik panjang antara kepentingan industri ekstraktif dan keberlangsungan lingkungan hidup. Aktivitas tambang skala besar mengubah wajah lanskap, mereduksi fungsi ekologis hutan, serta memicu kekhawatiran akan ancaman pencemaran air, kerusakan pesisir, dan hilangnya ruang hidup nelayan serta petani.

Bagi masyarakat lokal, Tumpang Pitu bukan sekadar gunung—ia adalah penyangga kehidupan, penjaga keseimbangan alam, dan bagian dari identitas budaya Banyuwangi. Ketika gunung dilubangi demi emas, yang tergerus bukan hanya batuan, tetapi juga rasa aman, kearifan lokal, dan masa depan generasi berikutnya.

Gelombang penolakan dan kritik publik terus bermunculan, menandakan bahwa persoalan tambang emas Tumpang Pitu belum menemukan titik keadilan. Pertanyaan mendasarnya sederhana namun mendesak: siapa yang sesungguhnya diuntungkan, dan siapa yang harus menanggung risikonya?

Tumpang Pitu kini menjadi simbol dilema pembangunan antara eksploitasi sumber daya dan tanggung jawab menjaga warisan alam. Di Banyuwangi, emas mungkin bernilai tinggi, tetapi lingkungan yang rusak adalah harga mahal yang tak selalu bisa ditebus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *