Bondowoso – Jejakindonesia.news | Ketua Umum (Ketum) LSM Siti Jenar Eko Febrianto mempertanyakan dan menyoroti dengan tajam terhadap keabsahan dan legalitas wilayah administratif Kecamatan Ijen yang terletak di wilayah Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Jum’at (25/7/2025).
Letak atau wilayah Kecamatan Ijen yang terdiri dari enam desa yaitu Sempol, Kalisat, Jampit, Kalianyar, Kaligedang, dan Sumberrejo. Secara nyata berdiri di atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT. Perkebunan Nusantara XII serta masuk kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai dasar hukum pembentukan Kecamatan Ijen, mengingat persyaratan pembentukan kecamatan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan.
Dalam hal ini bahwa bangunan didirikan di Tanah Negara, tidak enuhi syarat minimal menurut PP No. 17 Tahun 2018, bahwa pembentukan kecamatan harus memenuhi tiga kategori persyaratan: dasar, teknis, dan administratif. Salah satu poin krusial dalam persyaratan teknis adalah tersedianya lahan untuk kantor camat dan sarana-prasarana pelayanan publik lainnya.
Namun menurut Ketum LSM Siti Jenar Eko Febrianto yang akrab disapa Eko menjelaskan bahwa semua fasilitas pemerintahan di Kecamatan Ijen berdiri di atas lahan HGU dan kawasan hutan yang secara hukum bukan milik pemerintah daerah.
“Oleh sebab itu kami mempertanyakan legalitas administratif Kecamatan Ijen. Bagaimana mungkin sebuah kecamatan dibentuk tanpa memiliki lahan milik sendiri untuk kantor dan fasilitas umum ini kan aneh tapi nyata,” ucap Eko dengan nada tinggi.
Tak hanya bangunan pemerintah, masyarakat Kecamatan Ijen pun tinggal dan mendirikan rumah di atas tanah HGU dan kawasan hutan. Menurut Ketum LSM Siti Jenar, situasi ini sudah berlangsung sangat lama, bahkan sejak masa kolonial Belanda. Pemerintah Kabupaten Bondowoso dinilai lalai karena tidak pernah menyelesaikan status legalitas lahan tersebut.
“Hingga saat ini populasi penduduk Kecamatan Ijen terus bertambah, tapi tempat tinggal mereka tetap di atas tanah negara. Ini bukan hanya masalah agraria, tapi juga soal keadilan sosial dan hak dasar atas tempat tinggal,” ujarnya.
Di dalam situasi seperti ini berpotensi menimbulkan konflik hukum, terutama karena Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan melarang masyarakat untuk menduduki kawasan hutan secara ilegal. Meskipun sebagian pasal dalam UU ini telah dicabut melalui UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, namun perbuatan hukum yang dilakukan sebelum UU baru berlaku tetap dapat dijerat secara pidana.
Pasal 50 ayat (3) dan Pasal 78 ayat (2) UU Kehutanan menyebutkan bahwa siapa pun yang menduduki kawasan hutan tanpa izin dapat dikenakan hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda hingga Rp 5 miliar.
Selanjutnya Ketum LSM Siti Jenar Eko Febrianto mengusulkan agar Pemerintah Kabupaten Bondowoso segera menempuh mekanisme yang disediakan dalam regulasi yang berlaku. Salah satunya adalah dengan mengajukan permohonan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan perubahan peruntukan atau fungsi kawasan hutan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2021 dan Pasal 274 huruf h.
“Dan pemerintah seharusnya aktif menyelesaikan problem struktural ini. Solusinya sudah ada. Regulasi memungkinkan adanya tukar-menukar atau pelepasan kawasan hutan untuk keperluan pemukiman. Dan kenapa hal ini tidak dilakukan oleh pemerintah daerah,” ungkapnya.
Ini akan menjadi warisan konflik bagi generasi mendatang. Ketum
LSM Siti Jenar Eko Febrianto mengingatkan bahwa jika permasalahan ini terus dibiarkan, maka akan menjadi warisan konflik agraria bagi generasi selanjutnya di Kecamatan Ijen. Situasi ini juga menunjukkan ketimpangan struktural antara kebijakan pembangunan dengan hak dasar warga negara.
“Kami juga mengingatkan jangan sampai masyarakat yang telah tinggal turun-temurun dan bahkan membangun kehidupan sejak masa kolonial justru dikorbankan oleh sistem yang tidak adil. Mereka akan menjadi korban ketidakadilan, bukan pelaku pelanggaran,” tegasnya
Kemudian Ketum LSM Siti Jenar Eko Febrianto diakhir wawancaranya dengan tegas bahwa “kami menekankan pada pemerintah agar ada urgensi penataan agraria dan penyelesaian konflik pemanfaatan lahan di kawasan negara. Dan kami mendesak Pemerintah Kabupaten Bondowoso, Gubernur Jawa Timur, hingga Kementerian LHK untuk segera mengambil langkah konkret. Masalah legalitas tanah di Kecamatan Ijen bukan hanya isu lokal, tetapi juga hal ini menyentuh ranah hak asasi manusia dan keadilan sosial,” pungkas Eko dengan wajah kesal pada pemerintah daerah. (Wan)